Sinyal Resesi Dangkal di AS

Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor UI dan Guru Besar FEB UI

 

KOMPAS – (10/1/2023) Pekan lalu, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyatakan, sepertiga dunia akan mengalami resesi di tahun 2023. Penyebabnya, konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, tingginya harga komoditas, resurgensi Covid-19 di China, dan tingkat bunga di Amerika Serikat yang lebih tinggi.

Lokomotif perekonomian dunia, yaitu AS, Eropa dan China, akan mengalami perlambatan. Negara-negara lain yang tidak mengalami resesi akan merasakan dampaknya melalui rantai pasokan global dalam bentuk perlambatan ekspor dan/atau kenaikan biaya impor. Pernyataan dari IMF di atas disambut oleh pasar minyak dunia dengan anjloknya harga minyak West Texas Intermediate (WTI) dari sekitar 80 dollar ke 73 dollar AS per barel.

Melihat inkonsistensi data makro AS, ada ungkapan yang menarik dari beberapa headlines di AS. Resesi tahun 2023 diperkirakan akan seluas lautan, tetapi sedalam lutut atau mata kaki (shallowcession).

Resesi di AS diperkirakan akan berjalan tidak terlalu lama terutama karena perubahan perilaku permintaan agregat masyarakat. Hal ini akan membawa dampak global karena AS masih merupakan lokomotif perekonomian dunia.

Menurut Alan Greenspan, mantan ketua bank sentral AS (The Fed) 1987-2006, resesi tetap akan terjadi. Penyebabnya adalah The Fed ingin memperbaiki kredibilitasnya dalam mengendalikan inflasi setelah sebelumnya terlalu lambat menaikkan suku bunga acuan.

Anjuran agar The Fed memoderasikan tingkat kenaikan suku bunga acuan untuk menghindari resesi mengandung risiko untuk dipenuhi karena akan terlihat sebagai usaha untuk melindungi pasar modal saja.

Tidak terhindarkan lagi pasar modal AS akan terdampak. Menjelang pertemuan The Fed berikutnya padal 31 Januari-1 Februari, ekspektasi ini terkonfirmasi. Indeks DOW turun 300 poin, mengantisipasi The Fed yang tetap hawkish karena data penciptaan kesempatan kerja terkini AS masih baik.

Pertanyaannya adalah seberapa dalam jika resesi benar-benar terjadi. Survei yang dilakukan oleh Reuters terhadap 48 ekonom terkemuka di AS pada Desember 2022 memberikan pandangan menarik. Mayoritas responden, 35 dari 48 orang, menyebutkan resesi akan berlangsung relatif pendek dan dangkal. Lembaga finansial Moody menamakan fenomena ini sebagai slowcession, bukan recession.

Dalam skenario ini, pertumbuhan mungkin lambat. Tekanan inflasi turun, tetapi masih tinggi di atas angka ideal sekitar 2 persen per tahun. Dari survei di atas, 60 persen responden memprediksi seandainya terjadi kontraksi, tidak akan dalam (mild).

Beberapa leading indicators awal resesi sudah memberi sinyal. Penjualan rumah sudah sejak Februari 2022 berturut-turut mengalami kontraksi. Indeks manajer pengadaan sektor manufaktur (PMI) sudah memasuki zona kontraksi turun sedikit di bawah 50 sejak November dan menurun lagi ke 46,2 di bulan Desember.

Namun, selain tanda-tanda ini, beberapa indikator lain masih menunjukkan vitalitas perekonomian. Secara mengejutkan, pertumbuhan ekonomi AS secara tahunan pada triwulan III-2022 tercatat 3,2 persen. Bangkit dari kontraksi dua triwulan berturut-turut sebelumnya, minus 1,6 dan minus 0,6 persen.

Menjelang resesi biasanya imbal hasil obligasi tenor panjang lebih rendah dari tenor pendek karena ketidakpastian yang meningkat. Fenomena ini disebut kurva imbal hasil terbalik (inverted yield curve). Kurva imbal hasil terbalik sudah berkedip (flashing) sejak Maret 2022 karena interaksi faktor-faktor seperti pandemi, krisis geopolitik, krisis pangan dan energi, serta perilaku The Fed (Jacobs; 2022).

Namun, karena pertumbuhan ekonomi AS yang tinggi di triwulan III dan kompleksitas berbagai faktor di atas, kali ini tidak kurang dari penemunya sendiri, Profesor Campbell Harvey dari Universitas Duke, meragukan akurasi timing dari indikator ini.

Faktor demografi

Biang keladi yang membuat indikator-indikator awal resesi di AS menjadi tidak konsisten satu sama lain adalah konsumsi masyarakat. Data triwulan III 2022 menunjukkan, pengeluaran untuk kesehatan dan jasa-jasa lain dapat mengompensasi penurunan pengeluaran konsumsi untuk barang-barang tahan lama seperti kendaraan, elektronik, dan lain-lain.

Tahun 2022 merupakan tahun terburuk untuk penjualan mobil di AS dalam satu dekade ini dengan penurunan 8 persen dibandingkan tahun 2021. Kompensasinya, permintaan yang tertahan selama pandemi dan pendapatan yang tidak digunakan untuk membeli barang-barang tahan lama, digunakan untuk membeli jasa, termasuk makan di luar rumah, melakukan perjalanan, dan jasa-jasa lain, sehingga terjadi lonjakan pertumbuhan.

Sehubungan dengan hal ini, CEO perusahaan penerbangan AS United Airlines dalam wawancara di awal Desember 2022 mengatakan, dia tidak melihat resesi dalam data perjalanan penumpangnya (Gordon; Bloomberg, Desember 2022).

Ada hipotesis yang menghubungkan hal ini dengan fenomena demografi baru, yaitu banyaknya anak usia dewasa yang kembali tinggal di rumah orangtuanya. Penyebabnya adalah tingginya harga sewa apartemen/rumah, penundaan usia perkawinan, dan melanjutkan pendidikan pascsarjana selama pandemi (Pandurangi; Desember 2022).

Data sensus penduduk AS terkini menunjukkan 48 persen dari anak yang sudah dewasa kembali tinggal bersama orangtuanya seperti halnya pada tahun 1940-an. Dengan melakukan hal ini, pengeluaran sehari-hari dapat dihemat sehingga disposable income dapat digunakan untuk membeli barang-barang luxury, seperti jam mahal, perhiasan, fine dining, dan berpesiar premium.

Menurut prediksi IMF di atas, sepertiga negara di dunia akan mengalami resesi. Jika resesi diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berturut-turut, dua pertiga sisanya diperkirakan akan mengalami paling tidak hanya slowcession atau dengan kombinasi kebijakan yang tepat mungkin dapat bertahan di sekitar jalur pertumbuhan jangka panjang.

Dalam istilah matematika dinamis, tetap dapat bertahan pada keseimbangan pelananya (saddle points). Istilah pelana timbul karena walaupun dipacu kencang, berjalan lambat di genangan air atau melompati rintangan, asalkan penunggangnya andal, si kuda akan tetap dapat dikendalikan.

Modal perekonomian dalam negeri untuk bertahan dari resesi adalah kinerja pertumbuhan tahun 2022 yang sangat baik di sektor-sektor berbasis mobilitas. Kondisi awal ini memperbesar peluang untuk Indonesia tetap bertahan di titik pelana dengan pertumbuhan steady-state sekitar 5 persen per tahun. Dicabutnya PPKM walaupun protokol kesehatan tetap dilanjutkan menandai kebijakan mempertahankan sumber pertumbuhan berbasis mobilitas.

Data pertumbuhan triwulan IV belum ada, tetapi indikator dini dari sisi produksi masih memberi harapan. Indeks PMI meningkat ke 50,9 pada Desember dari 50,3 bulan lalu. Dari sisi permintaan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tetap pada zona optimis dengan besaran sekitar 120.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/08/sinyal-resesi-dangkal-di-as